Aku Memilih Bumi?

Aku Memilih Bumi?

Aku bersama Ibra

Sejak memulai hidup baru di Pontianak, set dah bahasaku.., aku berkomitmen untuk lebih menyayangi bumi. Apalagi kalau ingat deklarasi peduli lingkungan, yang aku ucapkan saat konferensi internasional tentang lingkungan di Shanghai empat tahun lalu, aku semacam punya beban moral untuk menepatinya. Cerita aku tentang peran Indonesia di konferensi itu bisa dibaca di sini . Makanya aku sampai bela-belain ngejual motorku di Semarang dan beli sepeda listrik aja di Pontianak. 

Jauh-jauh hari sebelum menginjakkan kaki di Pontianak, aku uda searching dulu soal sepeda listrik. Faktanya nih, di Indonesia tuh pake sepeda listrik belum menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon. Lah listrik yang dipakai buat ngecharge tuh berasal dari mana coba? Batu bara! Itu artinya belum ramah lingkungan. Apalagi ada referensi yang bilang, proses pembuatan sepeda listrik itu jauh lebih banyak memakan energi dari pada pembuatan sepeda motor. Terlebih untuk pembuatan baterainya.

Udah tahu kalau bakalan sama aja, nggak jadi solusi bagi lingkungan kita, tapi kok aku tetep kekeh mau pakai sepeda listrik sih? Ya soalnya merek yang aku pakai tuh tidak menggunakan baterai yang watt-nya tinggi. Proses pengisiannya pun gak lama, hanya sekitar enam jam kalau habis klesek baterainya. Jarak tempuhnya juga cukup jauh, kalau full battery bisa sampai 40 km. Itu artinya tidak terlalu banyak memakan energi listrik. Ini kok aku berasa sales sepeda listrik ya gengs.. wkwkwk. 

Memakai sepeda listrik juga ramah pernapasan. Nggak ada gas buang yang dihasilkan, kan? Suatu bentuk peduli kesehatan. Terusss... pakai sepeda listrik itu juga sebagai sarana latihan. Kalau nanti Indonesia sudah siap dengan segala sesuatu yang serba listrik dari energi terbarukan, aku (kamu juga mungkin) nggak kagok gitu. Udah cuss bisa, sat set sat set... :D

Dengan segambreng alasan itu, aku memantapkan hati menjalani hidup bersama Thiago. Nama pertama sepeda listrikku yang mendadak terbesit di benak, saat itu. Nggak ada arti khusus atau filosofi tertentu yang terinspirasi dari pemain Liverpool, Thiago Alcantara. Malahan nama itu ada kepanjangannya yang agak maksa, aTHI-ati yen Aku GO! Mak... wkwk.

Kini aku memilih Kaka

Well... ternyata menggunakan sepeda listrik begitu melelahkan jiwa. Thiago bahkan sampai harus melewati fase bancaan, berganti nama karena saat itu Liverpool gagal juara liga champion, dan kebetulan kekalahannya diikuti dengan sering rewelnya sepedaku. Aku ubah nama Thiago jadi Ibra, terinspirasi dari Zlatan Ibrahimovic, yang makin tua makin luar biasa performancenya. Harapan konyolku, Ibra nggak akan mogok-mogok lagi. Awet sampai nanti, sampai mati. Lah kok kayak lirik lagu :D 

Udah diganti nama pun tetap sama aja. Sepeda listrik yang aku kenakan tetap saja bikin lelah hati. Sering mogok nggak jelas, entah kabelnya yang kendor, entah baterainya yang bermasalah. Ada aja gitu yang bikin aku harus menuntunnya di tengah jalan, yang seringnya masih jauh dari kosan. Puncaknya adalah ketika Ibra mati total, dengan rem yang nggak "makan", ban bocor, plusss spion melambai. Uh menyedihkan sekali! Berasa hidup segan, mati tak mau.

Akhirnya demi kelancaran mobilitas, terutama saat pelayanan pagi-pagi di gereja, aku menyerah pada sepeda motor manual. Patah hati sungguh. Menyenggol idealisme aku. Tapi mau gimana lagi? Indonesia dan iklimnya belum siap untuk menghadirkan sepeda listrik. Dengan berat hati aku menyakiti bumi lagi dengan memilih bersama Kaka, si motor baru yang mengantarkanku untuk lebih dekat dengan Tuhan. Ya semoga saja aku tidak kelewat kebangetan menyakiti bumi, kalau pergi ke tempat yang dekat-dekat lebih milih jalan kaki, atau nebeng teman sekaligus modus cari jodoh, ups! 


This Is How It Feels Like to Live in A Mixed Boarding House

This Is How It Feels Like to Live in A Mixed Boarding House

My 1st boarding house in Pontianak

Disclaimer: some photos are only illustrations, not the real condition.

It can be said, I stay by accident. 😃 Why I say that, because I knew the first place I stayed in Pontianak by accident. I found it on Facebook group. When a lady asked about a female boarding house, someone left comment that offering a boarding house. I thought because the owner commented on that post, it means it's a boarding house for women only.

Then, I immediately contacted the owner and asked for building's photos. Seemed good, I decided to book a room for a month. Yaa .. only for a month, because I didn't know what actualy the real boarding house looks like. Moreover, I was only staying temporarily, at least there is a place to stay when I set foot in Pontianak for the first time. So I can rest and isolate myself soon after exiting the airport

On that day, when I arrived in front of the boarding house, I saw the appearance of the building from outside. Nice! But when I went inside, it was a bit different. And what surprised me was I met a boy. Yahh it is a mixed boarding house! Huft!! But it was neither the owner fault nor a scam, since the owner never said on facebook comment that it was a female boarding house. It was only my assumption. I guessed it was a female boarding house, just because the owner commented on the post of the person who asked for a girl's boarding house.

Whatever happened, like or not, I had to stay there. 600 thousand have been paid! Too waste money if I moved just because it didn't fit my criteria. So I chose to stay and tried to widen my tolerance range. It was awkward at first. But I could accept gradually 

I wondered, how it would be awkward if I wore a tank top in the boarding house. It's not in Singapore, guys! So I just wore a shirt. But, I have been in a situation when I ended up wearing a tank top. It was when I didn't have any other clothes to change, while all clothes were washed. Additionally, the weather in Pontianak is quite hot. The fact, they weren't agitated when they saw ladies wearing tank top. Very common, maybe.

I felt just a bit awkward as I dried underwears. Well, it was only a matter of time to make me get used to doing it. Many women were so comfortable in drying their underwears without hiding them in their clothes. Then I followed them and there wasn't a problem. Nobody suddenly stole a bra or panty as a tool to love-witch a lady, like my wild imagination 😅.

Unflushed toilet/ theranger.org

Some Annoying Dramas
Some dramas happened were about lack of cleanliness. We know... women are identic with good habits that keep a home clean, and men seem the opposite. It made me assume that the mastermind of the dirtiness of boarding house is a man, although it hasn't been proven till now. There are also many men who have good hygiene habits.

I found a lot of trash from sachets of shampoo, toothpaste and soap in the bathroom just before I shower. I disgustingly picked it up. Maybe in their minds, there is Mak Betty who will clean up, so they can litter anywhere. What a shame, the existence of household assistant shouldn't be an excuse for not maintaining cleanliness.

The worst boarding house nightmare came when someone left feces without flushed it. Hiiii ..  At that time the power was down, boarding house's water stopped working also and no water has been stored in the bucket. This culprit probably didn't really want to do it. The urge to defecate may be at the tip of the horn and bad luck conditions forced the culprit to leave unflushed poop.

Unfortunately, nightmare didn't stop there. Imagine, on the bright nice day, you have a good mood to cook something. Then suddenly you find omelette debris on the hung skillet you think it has been rinsed. How does it feel? It is so digusting, huh? Doesn't it bring your mood down? Sure!! If I am you, I will say yes. I was so lucky, it wasn't me who experienced it. I only wondered, why it was happened. Whether they never wash dishes at home or never been taught how to wash dishes properly. The culprit should know that unhygienic cooking utensils will create unsecured foods too. Hiii ...

Dirty skillet with egg debris inside/ kitchenstewardship.com

Touching Moments
Hemmm .. Even though there are so many annoying dramas, there are things that make me have a feeling with this boarding house. I remember, The first time I watched MU match together with football lover in Pontianak was in Gunawan's room.

At first I wanted to watch it alone, I couldn't get close to those who were smoking. But Rey came to my room and invited me to watch it together. He assured me everything would be safe. And yeah ... no one smoked while we were watching. They were so warm and really fun. For next matches, I always watched it at Gun's room.

I couldn't agree more with the quote, football unites us. Bonds were created by jokes and taunts based on MU's win. That made me felt close to boys. On the other hand, miscommunication sometimes occured due to differences in accent and speed of speech. Those boys, Gun and Rey are used to talking fast. It made me work hard in digesting their words. Even I often asked them to repeat their speech, "what .. hah... what.. hah .. hah .."

One moment that really really touched me was when we ate together. Our landlady made fried noodles for us and Ucok kept it until we were all in the boarding house. When everyone was ready to eat but I was still in the room, Ucok called out, "Kakak dosen, let's eat together!" That simple thing touched me.

I also saw Ucok, Gun and Wen took lunch together. Since they have the same faith, they had words of prayer before they dig in. And they did it together. Very sweet! Such an irony, I never did it at home. Well I have a family, but very individualistic. Eat alone, pray alone.

Yaaa.. this boarding home is more than home. A million unpleasant dramas can't erase the togetherness and kinship. It was so touching me. Personaly, I started getting close to them in only several weeks. Their private life stories, their struggles when facing stages of graduation, got me know them. 

Hem .. As a sensitive person, I often feel too deep. So when I decided to move to the new place, I didn't want to tell anyone. Then I tried moving quickly, just to left without feeling sorrowful. But I failed, some of them caught me. Mixed feeling instantly came! Huh.. it was such a blue day. I will really miss every second spent with them in the boarding house.

I will never forget every sweet moment there/ bryanston.co.uk

Some Personal Messages for Residents 
Bang Suhai, hopefully you will graduate soon. Yovi, I really want to hear you sing. Gun, let's watch MU vs Chelsea (next match)! Ucok, keep being a good chieftain! Mita, please be patient in dealing with annoying lecturers. Mila, don't take a shower in the middle of the night, watch your health! Wen, if I want to alter clothes, I'm sure I will come to you. Suhardi, don't store excess food for yourself only, better give it to me 😃. Josh, don't be too good to Rey, you should let his clothes get wet in the rain 😜✌. Rey,  si anak nakal, don't be a disobedient kid, kidding ✌. Please slow down so you don't rush trough the life. Mery, don't get too busy, you need take breaks, watch your health! And for others I forget the name, forgive me! I wish all of you the best and a lot of great news in the coming months. See you at the top, guys!!

Dear, landman and landlady of the boarding house, thank you for all your kindness and hospitality. See you when I see you 😊

My Very First Impression of Pontianak, Am I Still in Indonesia?

My Very First Impression of Pontianak, Am I Still in Indonesia?

First time saw Digulis Monument/ taken by me.

Dear pals... I am so sorry. This article should be made from 38 days ago, when I set foot for the first time in the capital of West Borneo. But I just had a writing mood and i think it isn't too late. I really want to tell you some things that are very different from my city in Semarang.

Stepped out from Supadio airport, I was immediately shocked by voices of people speaking in Malay dialect. I wondered, am I landing in the right place? I didn't expect to hear its accent, I thought Indonesian people who speak Malay are only in Sumatera.

Moreover, in some months ago, during the interview in civil servants (CPNS) test, 2 lecturers from State Polytechnic of Pontianak (POLNEP) who interviewed me didn't show their Malay accents. So Pontianak has its own local language and accent, I guessed. The fact, I was wrong. Oh yaa.. one more funny thing, when you listen to kids, their voice is exactly like the dubbing of Upin Ipin, Malaysian kids' popular cartoon. It is such watching the real Upin Ipin. You may feel amused!

On the way from the airport to the boarding house, I saw temples everywhere. So amazed! In Semarang, Chinese temples are only built in certain areas, such as Pecinan. That is so different to Pontianak. Even we can find a temple next to the traditional market. What a great!!

My amazement doesn't stop there. I was more amazed when I arrived at my boarding house. The owner, even Chinese people who live around my boarding house, do chit chat with each other in Chinese. They can speak Indonesian tho. Quite the opposite, many Chinese descendants in Java are medok. I mean they fluent in Javanese but can't speak Chinese. Wkwkwk.

Yaaa.. On that day, I was so amazed by the cultural assimilation in Pontianak. This is like a nostalgic of the trip to Malaysia and Taiwan. Pals, I still have many stories about Pontianak, since I have moved to this equatorial city. I really can't wait to share my story for 30 days in Pontianak. I hope you can't wait too. Hha.

Seribu Drama Menuju Pontianak

Seribu Drama Menuju Pontianak

Hasil tes PCR sebelum penerbangan ke Pontianak 

Pals, kalau kamu jadi aku, apakah juga akan merasakan kegalauan yang sama? Gini, aku melakukan perjalanan udara ke Pontianak tepat sehari setelah kecelakan pesawat SJ 182. Masalahnya adalah aku bakal naik maskapai yang sama dengan rute yang sama pula. Ambyar banget rasanya. Kecelakaan itu terasa sangat dekat dan bikin aku takut parah. Itu pertama kalinya aku takut naik pesawat.

Pikiranku berkecamuk, antara maju atau mundur berangkat ke Pontianak. Hem... sebelum kegundahan itu pun, drama-drama sudah menghampiriku. Iya, keberangkatan tanggal 10 Januari juga hasil dari drama. Harusnya aku berangkat sehari sebelumnya lo. Naik Lion tapi. Jadi sekalipun aku berangkat tanggal 9 Januari, aku gak bakal mengalami kecelakaan.

Reschedule bahkan ganti pesawat itu akibat menyesuaikan peraturan pemerintah yang berubah-ubah terkait kewajiban membawa hasil tes covid19. Awalnya tuh cuma diminta bawa hasil tes rapid antigen. Lalu menjelang Natal dan tahun baru pemerintah Pontianak ikut-ikutan pemerintah Bali. Hasil negatif PCR jadi syarat untuk bertolak ke Pontianak lewat jalur darat. Peraturan itu semula berlaku sampai tanggal 8 Januari. Eh diperpanjang donggg hingga perayaan Cap Go Meh. Gilanya, mereka baru memutuskannya tanggal 7 Januari. Dadakan banget!

Setelah dapat info perpanjangan syarat wajib PCR, aku langsung heboh cari info tes PCR yang cepat dan ramah kantong. Ternyata gak ada! Kalau mau tes, harus daftar dulu minimal 1 hari sebelumnya. Hasilnya pun paling cepat keluar 1 hari setelah tes. Sangat mendadak. Akhirnya aku memutuskan refund dan mengatur ulang penerbanganku. Mungkin aku terbangnya tanggal 10 atau 11 Januari.

Tiba-tiba munculah pikiran gila buat ngetrip ke Palembang dan Lampung sebelum ke Pontianak. Soalnya sayang banget gak sih mahal-mahal tes PCR kalau cuman buat ke Pontianak? Apalagi kan masa berlaku hasil PCR seminggu, lebih baik dimanfaatkan buat ngetrip ke daerah lain dulu. Lagipula tiket ke Palembang dan Lampung murah banget.

Alhasil, aku langsung gercep bikin itinerary, tapi belum tiketnya. Aku mau nunggu sampai hasil PCR keluar. Biar lebih tenang gitu. Kan gak lucu, udah beli tiket eh ternyata positif covid. Giliran hasilnya keluar dan aku dinyatakan negatif covid, datang kabar ngeselin lagi. Satgas penanggulangan covid bikin peraturan baru kalau hasil tes covid dengan PCR hanya berlaku 3x24 jam dari waktu periksa. OMG... Itinerary ngetrip di provinsi ke 12 dan 13 hancur luluh lantak seketika. Mau gak mau aku harus ke Pontianak tanggal 10 Januari, atau aku kudu mengulang tes PCR lagi. 

Di bandara Ahmad Yani, mau berangkat ke Pontianak (10 Januari 2021)/ dok. pribadi

Well, aku memutuskan berangkat langsung ke Pontianak tanggal 10 Januari, demi keamanan perekonomian. Huft!! Daaannn.. ketika tiket baru ke Pontianak sudah di tangan, kabar kecelakaan pesawat SJ 182 tersiar. Mak.... Aku gundah, ya seperti yang aku ceritakan di awal. Bahkan pakai acara nangis segala. Lantas yang di otakku cuma Bli dan Bli.. Buset dah. Gak pake lama, langsung deh aku telepon Bli. Eh bisa-bisanya dong Bli bilang, "Itu tanda kamu gak diizinkan ke Pontianak." 

Bukannya tenang malah makin galau. Dia masih aja ngebahas kemungkinan aku kerja di Bali. ini CPNS woiii, gak bisa seenak jidat mengundurkan diri. Tapi kok ya aku masih aja ngegalau pingin kerja di Bali. Huh... dasar aku! True banget, cinta itu bikin gak rasional. Hish... Mama yang ngeliat aku mewek di pojokan kamar, menawarkanku pindah maskapai. Naik Garuda aja gitu daripada ketakutan, 

Aku lantas merenung, berpikir lebih dalam. Gak semudah itu ngereschedule atau bahkan ngebatalin penerbangan. Kan mahal bo tiket Garuda. Harganya bisa sampai tiga kalinya low cost airline. Lumanyun banget gak sih? Heemmm.. aku gak bisa gegabah dalam mengambil keputusan nih.

Setelah "hujan lokal" reda, aku memantapkan hati untuk tetap berangkat sesuai jadwal tiket. Whatever happens, flight must go on. Mau naik pesawat sekelas Emirates pun, kalau emang jatahnya untuk "berpulang" ya "berpulang" aja. Naik maskapai plat merah juga bukan jaminan tidak akan mengalami kecelakaan. Kalau dipikir-pikir gak bakal mungkin terjadi kecelakaan udara beruntun dengan maskapai yang sama. Pasti pihak maskapai jadi lebih wawas (harusnya sih gitu). 

Benar saja, saat hari H Puji Tuhan semua berjalan lancar. Pesawat take off dan landing dengan smooth. Sampai gak berasa gitu. Bersyukur banget, aku bisa menginjakkan kaki di kota khatulistiwa dengan sehat selamat aman sentosa. Hahhh.. lega bisa melalui setiap drama. Walau begitu, aku rasa drama-drama itu perlu. Coba gak ada drama kebijakan PCR, pasti aku sudah ngetrip ke sana ke mari dengan tak bertanggung jawab. Maunya cuma happy happy doang, gak peduli kesehatan diri. Padahal aku ini termasuk rentan tertular covid, secara aku ada komorbid. 

Perdramaan itu juga bikin aku berpikir lebih rasional, gak bucin belaka. Eh masih ada sih dikit kadar kebucinanku. Gak cuma flight must go on tapi juga life must go on. Hidup ini isinya gak cuma Bli dan Bali, ya kannn?? Yang pasti seribu drama itu jadi pelajaran buatku untuk semakin bersyukur dan pasrah, dengan membawa nama Tuhan di setiap tindakan. Bukan terus mengingat nama Bli di setiap kegundahan.

Terbang Saat Pandemi? Apanya yang Beda?

Terbang Saat Pandemi? Apanya yang Beda?

Pertama kali terbang saat pandemi/ dok. pribadi

Setelah 1 tahun 4 bulan gak terbang, akhirnya 10 Januari lalu naik pesawat lagi. Yeayy!! Rasanya rindu banget pals. Sudah lama banget nih aktivitas udara Mbakpetualang tertahan manjah. Ya apalagi kalau bukan karena si coro coro itu. Gak juga deng, karena gak ada duit juga. Lagi jadi pengangguran gitu ceritanya. Hha. 

Puji Tuhan bisa mengudara lagi. Ceritanya nih aku mau hijrah ke Pontianak, mengadu nasib supaya bisa punya pundi-pundi lagi buat traveling. Karena demi kerjaan, feelingnya jadi beda. Gak seheboh buat traveling. Namun bisa terbang lagi sudah bikin aku super senang.

Masalahnya nih, terbang kali ini nuansanya juga beda. Pas pandemi bokk... Jadi rada kagok gitu. Banyak pertanyaan bermunculan, apa nanti ada overhead baggage atau semua bawaan kudu masuk bagasi? duduknya gimana, seat distancing gitu? bisa pesan minuman? check in konvensional ? Dan masih banyak lagi. Semuanya terjawab ketika hari H terbang.

Katanya Sih Begini
Buat referensi biar gak kagok-kagok amat, aku baca blog traveler yang sudah mulai ngetrip lagi. Aku juga tanya-tanya ke teman yang sudah beberapa kali terbang saat pandemi. Kesimpulannya akan ada beberapa hal yang berbeda, aku kudu menyesuaikan diri. Bagasi overhead katanya ditiadakan. Tujuannya supaya tidak menghambat penumpang lain yang mau masuk, yang dapat menimbulkan kerumunan. 

Katanya lagi nih, banyak maskapai yang menerapkan seat distancing; seperti GA, CL, AA. Kursi di tengah dikosongi gitu. Gak bakal ada yang bisa cipokan deh selama di pesawat, wkwkwk. Pokoknya diterapkan hal-hal yang membuat sebisa mungkin tidak ada kontak fisik antar penumpang, katanya....  

Bandara Ahmad Yani terlihat cukup sepi (10/1/21) / dok.pribadi

Ini yang Kualami  
Gak ada hal yang terlalu beda. Bandaranya cukup hidup. Banyak toko yang buka. Cari cemilan tidaklah sulit. Orang-orang juga banyak yang ngemper overnight demi ngirit nungguin penerbangan lanjutan. Situasinya terasa normal. Bedanya ya orang-orang pakai masker. 

Kalau tahap buat terbang, menurutku cuma dua hal yang gak pernah diberlakukan sebelumnya. Saat sebelum check in, penumpang kudu validasi hasil deteksi COVID 19. Begitu pula saat sampai di bandara tujuan. Validasinya tuh ya macam dicap atau diparaf gitu lembar hasilnya. Hasil atau nilai yang tertera dilihat dengan seksama oleh petugas. Kalau di situ tertulis negatif atau nilai CTnya melebihi ambang batas atas, dokumen dinyatakan valid. 

O iya, penumpang juga diwajibkan mengisi kartu kewaspadaan di aplikasi e-HAC. Nantinya, barcode dari formulir yang sudah diisi, dipindai petugas ketika sampai di bandara kedatangan. Gak ada hal yang terlalu ribet, kok!

Situasi di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta (10/1/21). Banyak toko yang buka/ dok. pribadi.

Tahap lainnya sih semua sama saja. Ngantri boardingnya masih padat merayap, wkwkwk. Gak ada jaga jarak babar blas... Lalu sepertinya hampir semua penumpang pakai bagasi kabin, itu yang di atas kepala. Ngehambat banget penumpang lainnya yang mau masuk! Trus jadi dempel-dempel asoy gitu kan. 

Yang bikin sakit ati itu gak ada seat distancing. Padahal sengaja beli tiket pesawat yang menerapkan prokes. Hiks! Eh dilalahnya aku selalu dapat kursi tengah, baik saat penerbangan ke Jakarta maupun saat penerbangan lanjutan ke Pontianak. Rugi bandar rasanya! Bahkan menyemprotkan desinfektan aja gak dilakukan dong (Kalau Air Asia mah jauh sebelum pandemi sudah menerapkan ini sebelum landing). 

Aku ngerasa was-was banget. Untungnya, saat penerbangan ke Jakarta, 3 kursi yang di lajur sebelah kiri kosong. Beruntung juga saat penerbangan lanjutan, kursi kiriku kosong. Aku bisa pindah deh dan nerapin seat distancing mandiri, wkwk.

Ketika pesawat sampai di bandara tujuan, penumpang pada berebut dulu-duluan turun pesawat. Awak kabin maupun penumpang seolah lupa protokol kesehatan. Satu-satunya yang aku acungi jempol dari kebijakan Sriwijaya, yang mengantarkanku ke Pontianak, adalah tidak membagikan makanan atau minuman apapun selama penerbangan. Fasilitas yang sudah satu paket itu tetap dibagikan, tapi ketika mau keluar pesawat. 

Secara keseluruhan, tidak terlalu banyak perbedaan antara terbang sebelum pandemi dan terbang saat pandemi. Penerapan protokol kesehatan nyatanya tidak terlalu ketat. Berbeda dengan beberapa teman yang duluan terbang. Mungkin kebijakan mereka dinamis, berubah seiring berjalannya waktu. Kalau kamu ngerasa ngeri, lebih baik jangan bepergian kalau tidak mendesak pals.     


Cuma Ada di Myanmar, Tujuh Hal Ini Bikin Kangen!

Cuma Ada di Myanmar, Tujuh Hal Ini Bikin Kangen!

Shwedagon Pagoda nan megah/ dok. pribadi

Bagiku Myanmar memang begitu istimewa. Aku bahkan menempatkannya di ranking teratas negara ASEAN terfavorit read this. Ada beberapa hal yang sungguh... ngangenin, pals! Budayanya, suasananya, kearifan lokalnya... emh tiada dua! Sungguh!!

1. Serba Emas
Negara ini memiliki banyak pagoda dan bangunan lain yang dilapisi emas. Itu yang bikin Myanmar dijuluki Golden Land. Kalau dilihat dari udara, akan terlihat pemandangan kuning-kuning mengkilat. Berasa satu daratan dipenuhi emas. Keberadaan bangunan-bangunan emas itu membuat Myanmar cantik. Coba deh ke Shwedagon Pagoda saat sunset atau waktu malam. Dijamin kamu gagal move on. Kemegahannya itu lo... bikin speechless!  

Suasana di Sule Pagoda Road/ dok. pribadi

2. Sama Sekali Tidak Ada Sepeda Motor
Di Yangon, kamu gak bakal menemukan sepeda motor satu pun. Itu karena pemerintah melarang roda dua, kecuali sepeda beroperasi di kota itu sejak awal tahun 2000an. Alasan utamanya sih tingginya tingkat kriminalitas yang dilakukan geng motor. Selain itu pengguna sepeda motor sering gak tertib, banyak yang melintas di trotoar. 

Menurutku kebijakan pemerintah Yangon ini keren banget. Masyarakat jadi lebih menggantungkan diri ke transportasi publik. Jelas mengurangi emisi karbon. Lalu kezaliman terhadap pejalan kaki juga berkurang. Aku ngerasain sendiri pals, jalan kaki di Yangon itu cukup leluasa dibanding jalan kaki di kota-kota besar di Indonesia. Ya walau kadang masih ada saingan, pedagang kaki lima, seperti di jalan menuju Aung San Market.   
 
Di dalam mobil jemputan hotel/ dok. pribadi

3. Mobil Jadul Bertebaran
Nah karena penggunaan sepeda motor dilarang, banyak banget masyarakat Yangon yang punya mobil. Kaum medioker sekalipun punya! Mereka mengandalkan mobil-mobil bekas yang impor dari Jepang. Iya lo gais... Di kaca belakang mobil ada stiker tulisannya "mobil bekas ini impor dari Jepang." Mana tulisannya cukup besar pulakkk. Heran... Kok gak malu ya?

Herannya lagi nih, mobil impor yang melimpah itu bukan mobil kekinian seperti yang ada di Indonesia. Mobil-mobilnya jadul banget. Itu...yang jendelanya kudu dibuka manual. Tuas di bawah jendela diputar dulu, atau geser kiri-kanan pakai tangan. Sungguh jadul, kan? Kondisi ini gak cuman ada di Yangon, tetapi juga di berbagai kota besar di Myanmar. Kok bisa ya? Apa Jepang menyesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat Yangon? Entahlah.. yang jelas pemandangan jalanan Myanmar itu bikin nostalgia masa-masa tahun 2000an di Indonesia.  

Banyaknya taksi melintas, dilihat dari dalam mobil jemputan hotel/ dok. pribadi

4. Taksi Rasa Angkot
Jangan kaget kalau kamu melihat begitu banyak mobil bercat putih di pusat kota. Kalau Bogor akrab dengan sebutan kota seribu angkot, Myanmar mungkin bisa disebut negara seribu taksi kali ya? Haha. Abis beneran banyak. 

Taksi bisa dikata angkotnya Myanmar. Jadi jangan ngerasa high class kalau udah naik taksi, seperti di Indonesia karena harganya yang bikin kantong kaum Miss Queen menjerit. Di Myanmar tuh taksi sudah bagai moda transportasi umum andalan sejuta umat. Persis ngangkot, sis-bro!

Seriusan gengs! Ngetaksi yang murah meriah walau gak pakai argo, sepertinya cuma ada di Myanmar. Namun itu semua sebanding dengan fasilitasnya. Mobil yang dipakai adalah mobil hits jadul dengan mengandalkan AC alami, alias Angin Cepoi-cepoi, wkwkwk. Lalu taksi yang ditumpangi bisa ngangkut penumpang lainnya, semacam car-sharing gitu. Berasa naik angkot banget, kan?

Burung gagak bergerombol di jalanan Yangon/ dok. Erica Su

5. Burung Gagak Menghiasi Langit Myanmar 
Parno gak sih kalau burung gagak ada di atap rumah? Orang-orang yang ngerasa parno dengan keberadaan gagak di sekitarnya pasti mengkaitkan gagak dengan mitos yang sudah mengakar kuat. Gagak sering dianggap simbol kematian. Kemunculannya dikaitkan dengan firasat akan ada orang yang meninggal. Selain itu, gagak kerap dianggap tanda ketidakberuntungan.

Gak cuma di Indonesia sih, banyak orang dari negara lain yang mempercayainya. Namun tidak di Myanmar. Kepercayaan yang beredar di sana justru sebaliknya. Gagak adalah simbol hal-hal baik. Kalau gagak muncul di depan jendela itu artinya akan ada tamu yang datang, kemudian diadakan pesta. Dengan begitu mereka akan segera mendapat banyak rejeki. Lah kan gak mungkin bisa ngadain pesta tanpa duit. 

Kearifan lokal Myanmar ini bikin gagak terbang bebas di sana. Melimpah malah. Mereka bergerombol ngegeng di atap-atap rumah, di kabel listrik, sampai di mobil yang diparkir di jalan. Maka jangan kaget bila saat ke sana kamu menemukan banyak jackpot di mana-mana. Atau mungkin kamu sendiri yang kena jackpot itu, haha. Kalau orang Myanmar sih semua memakluminya. Gak ada yang misuh-misuh. Mereka yang mengalah. Di antara mereka, ada pula yang menyiasatinya dengan payungan. Sadar gak sadar, mitos yang beredar di Myanmar itu menjaga keseimbangan lingkungan loh.. Terlove!

Cewek cowok pada pakai longyi/ dok. pribadi

6. Ke mana-mana Sarungan 
Coba pals beritahu aku, di negara mana tradisi dalam berpakaian masih dijaga banget sampai sekarang? Yakk betul, India salah satunya. Tak hanya saat hari tertentu, saree dan dhoti juga digunakan terus dalam beraktivitas sehari-hari. Atau minimal pakai selendang di leher, jika mereka memakai pakaian modern (atasan kaos, bawahan jeans). Keren emang mereka. Tradisi tak tergerus dengan perubahan zaman. Nah, ini yang mungkin kamu gak nyangka. Di Myanmar pun masih banyak orang yang mengenakan baju tradisional untuk keseharian mereka.

Aku gak tahu buat atasan namanya apa. Kalau bawahannya disebut longyi. Longyi cewek mirip jarik, longyi cowok mirip sarung. Yang lucu sih yang cowok ini. Kemana-mana sarungan coba. Kayak anak santri, gengs! Eh eh petugas imigrasi pun pakai longyi dong. Duh kalau di Indonesia, yang model begini pasti dibilang alim. Btw, penasaran aku tu, di baliknya masih ada boxer atau langsungan cd? wkwkwk. 

Cewek-cewek cemong/ dok. pribadi

7. Cemong-Cemong Cantik 
Kebanyakan cewek gak pede keluar rumah tanpa dandan. Paling gak bedakan lah, yakannn? Berasa lebih cantik gitu kalau dandan. Eh tapi di Myanmar, kebanyakan cewek merasa lebih cantik bukan dengan dandan seperti biasanya. Gak pakai alas bedak, concealer, eyeliner, blush on, dan apalah itu pertetekbengekan make up. 

Cewek Myanmar merasa cantik dengan muka polosan yang diolesi bedak dingin, yang mereka sebut thanaka. Mereka sangat meyakini, pakai bedak dingin bikin wajah mereka cantik, halus dan sehat. Ya walau jadi cemong gitu muka mereka. Kayak bayi-bayi yang dipakein bedak sama emaknya. Namun mereka pede abis lo. Seriusan! Gak takut jadi bahan tontonan orang gara-gara muka cemong. Eh kalau di Myanmar mah emang gak bakalan ada yang ngeliatin. Udah jadi pemandangan umum banget. 
  
Sungguh pals hal-hal 🔝🔝🔝 bikin aku kangen Myanmar. Budaya dan kearifan lokalnya menakjubkan! Oh ya, semua yang aku tulis di atas berdasarkan pengalaman dan pengamatan aku selama di Yangon, Januari 2017 lalu. Sekarang bisa aja ada beberapa perubahan. Kalau ingin buktiin ya cus langsung terbanglah ke Myanmar!!

Terkunci di Area Pedestrian Danau Kandawgyi

Terkunci di Area Pedestrian Danau Kandawgyi

Danau Kandawgyi berhiaskan Karaweik Palace/ koleksi pribadi

Sebelum menginjakkan kaki ke Negara Emas, aku sudah kepoin dulu tempat-tempat cantik nan hits di Myanmar. Mataku langsung terbelalak ketika melihat foto Danau Kandawgyi yang dihiasi Karaweik Palace. Sangat indah menawan bikin penasaran. Kok ada ya istana berlapis emas dengan arsitektur seunik itu (bagian atapnya mengerucut ke atas seperti pagoda, bagian depannya terdapat hiasan burung Karaweik) yang mengambang di tepian Danau Kandawgyi? Pingin rasanya buktiin kalau Danau Kandawgyi dan Karaweik Palace memang secantik yang ada di foto.

Aku gak mau terhipnotis dengan gambar. Ya karena kan fotografi itu main teknik, juga bisa diedit. Masalah beneran kece atau gak, cuma mata asli yang bisa membuktikannya. Kan ada pepatah bilang Don't judge a place by its photos. To travel is to prove the fact!! Nyatanya guys... Danau Kandawgyi dan Karaweik Palace memang sangat sangat menawan! Didukung dengan udara yang sejuk dan suasana yang tenang. Beruntung aku ke sana pas sore, jadi bisa sekalian berburu sunset. Mata begitu dimanjakan dengan keindahan pemandangannya.

Suasana sore di Danau Kandawgyi/ koleksi pribadi.

Di sekeliling danau ada jalur pedestrian yang biasa digunakan penduduk setempat joging atau sekadar bersantai memutari danau. Aku pun mengeksplor area danau lewat jalur pedestrian yang terbuat dari kayu itu. Agak uji nyali sih melewati jalur pedestrian. Bukan karena horor ada hantunya, tapi kayunya banyak yang lapuk dan bolong. Mana aku gak tau pula kedalaman danau. Deg-deg ser... Namun bukan Mbakpetualang namanya kalau hal gitu aja bikin nyerah. Tetep jalan walau was-was 😅.

Berkat kenekatanku, aku menemukan banyak harta karun. Gak nyangka lo, ada buddhist temple belosok gitu. Belum lagi keindahan side park dengan berbagai tanaman hias warna-warni, bikin aku tak jemu menyusuri jalur pedestrian. Lalu saat matahari mulai beranjak meninggalkan awan, aku berada pas di  posisi wuenak yang berlatar belakang Karaweik Palace. Cakep!! Nyebelinnya, giliran aku berpose mengabadikan diri, semua fotonya juelek. Ish...   

Failed pose ever!

Hampir dua jam aku berada di jalur pedestrian, tapi tidak bosan sama sekali. Yang ada malah lupa waktu. Iyaloh.. area itu hanya buka sampai jam 6 sore. Ada tulisannya gede-gede di depan gerbang masuk. Namun aku abai saja. Batinku, halah masak sih seketat itu peraturan di Myanmar? Aku terus saja menenggelamkan diri dalam kenikmatan suasana Danau Kandawgyi. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 18.30, aku baru sadar area pedestrian sudah sepi. Seperti hanya aku seorang diri di tempat itu.

Aku langsung berjalan menuju gerbang. Sayang, aku terlambat. Gerbang beneran sudah dikunci. Asem!! Aku bingung bukan kepalang. Mau manjat tuh gerbang, tapi kok pagarnya tinggi. Aku jadi teringat pengalaman manjat pagar kos di Jogja dulu, sewaktu ngelanggar jam malam. Serius, itu gak banget!! Rasanya cemas teramat sangat. Takut disangka maling lah, takut ketauan orang kos dan dicap cewek gak bener lah, sampai takut gegar otak akibat jatuh dari pagar. Untung saja semua itu gak terjadi. Hanya celana jeans kesayangan robek besar di bagian paha.

Masih santai-santai di tempat posisi wuenak, padahal sudah sepi.

Aku gak mau lagi mengulang kenangan itu. Cukup sekali saja seumur hidup, please! Pilihan manjat pagar langsung kucoret dari otakku. Eh kayak ada pilihan lain aja. Padahal gak punya strategi lain. Lantas bingung lagi bingung lagi. Mataku jelalatan mencari solusi. Namun tak juga menemukannya. Dalam hati, ya kalik mau bermalam di sini. Gelap, dingin, banyak nyamuk, gak ada ojek, becek. Aku lalu semakin mendekatkan diri ke pagar. Kedua tanganku kontan memegang jeruji pagar, persis seperti napi yang sedang meratapi nasib di balik jeruji besi. 

Aku pasang wajah memelas, siapa tahu ada yang mau membantuku. Benar saja, seorang ibu pedagang asongan iba. Dia gercep menghampiriku. Kendalanya, kita bicara bahasa yang berbeda. Ibu itu mengerti kalau aku tak paham yang dia bicarakan. Dia langsung mengerahkan jurus andalan sejuta umat. Bahasa Tarzan! Bahasa isyarat maksudnya. Puji Tuhan aku paham.

Shwedagon Pagoda dilihat dari Danau Kandawgyi/ koleksi pribadi 

Ternyata oh ternyata ada jalan keluar rahasia. Di sebelah kiri pagar, ada terowongan kecil yang ditutupi semak-semak. Aku tebak itu bikinan warga sekitar guna menyiasati kalau-kalau ada yang terjebak di area pedestrian seperti aku. Buat keluar dari area pedestrian, aku kudu lewat terowongan itu dengan merayap. Seriusan, merayap! Baju jadi kotor deh, tapi gak apa-apa. Kata Rinso, berani kotor itu baik!    

Bersyukur aku bisa keluar area pedestrian dengan selamat bin kotor. Aku cepat-cepat menemui malaikat tak bersayap itu. Ku sampaikan terima kasih lewat isyarat, menunduk sembari menangkupkan kedua telapak tangan di dada. Ah, harusnya aku beli saja minuman atau roti yang ia jual. Dia pasti lebih senang jika balasannya uang bukan isyarat terima kasih, sekalipun itu tulus. Entah kenapa, embel-embel Mbakpetualang bikin aku kelewat hemat, yang jatuhnya malah kikir. Sungguh penyesalan itu masih ada.
 
back to top