Aku bersama Ibra |
Sejak memulai hidup baru di Pontianak, set dah bahasaku.., aku berkomitmen untuk lebih menyayangi bumi. Apalagi kalau ingat deklarasi peduli lingkungan, yang aku ucapkan saat konferensi internasional tentang lingkungan di Shanghai empat tahun lalu, aku semacam punya beban moral untuk menepatinya. Cerita aku tentang peran Indonesia di konferensi itu bisa dibaca di sini . Makanya aku sampai bela-belain ngejual motorku di Semarang dan beli sepeda listrik aja di Pontianak.
Jauh-jauh hari sebelum menginjakkan kaki di Pontianak, aku uda searching dulu soal sepeda listrik. Faktanya nih, di Indonesia tuh pake sepeda listrik belum menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon. Lah listrik yang dipakai buat ngecharge tuh berasal dari mana coba? Batu bara! Itu artinya belum ramah lingkungan. Apalagi ada referensi yang bilang, proses pembuatan sepeda listrik itu jauh lebih banyak memakan energi dari pada pembuatan sepeda motor. Terlebih untuk pembuatan baterainya.
Udah tahu kalau bakalan sama aja, nggak jadi solusi bagi lingkungan kita, tapi kok aku tetep kekeh mau pakai sepeda listrik sih? Ya soalnya merek yang aku pakai tuh tidak menggunakan baterai yang watt-nya tinggi. Proses pengisiannya pun gak lama, hanya sekitar enam jam kalau habis klesek baterainya. Jarak tempuhnya juga cukup jauh, kalau full battery bisa sampai 40 km. Itu artinya tidak terlalu banyak memakan energi listrik. Ini kok aku berasa sales sepeda listrik ya gengs.. wkwkwk.
Memakai sepeda listrik juga ramah pernapasan. Nggak ada gas buang yang dihasilkan, kan? Suatu bentuk peduli kesehatan. Terusss... pakai sepeda listrik itu juga sebagai sarana latihan. Kalau nanti Indonesia sudah siap dengan segala sesuatu yang serba listrik dari energi terbarukan, aku (kamu juga mungkin) nggak kagok gitu. Udah cuss bisa, sat set sat set... :D
Dengan segambreng alasan itu, aku memantapkan hati menjalani hidup bersama Thiago. Nama pertama sepeda listrikku yang mendadak terbesit di benak, saat itu. Nggak ada arti khusus atau filosofi tertentu yang terinspirasi dari pemain Liverpool, Thiago Alcantara. Malahan nama itu ada kepanjangannya yang agak maksa, aTHI-ati yen Aku GO! Mak... wkwk.
Kini aku memilih Kaka |
Well... ternyata menggunakan sepeda listrik begitu melelahkan jiwa. Thiago bahkan sampai harus melewati fase bancaan, berganti nama karena saat itu Liverpool gagal juara liga champion, dan kebetulan kekalahannya diikuti dengan sering rewelnya sepedaku. Aku ubah nama Thiago jadi Ibra, terinspirasi dari Zlatan Ibrahimovic, yang makin tua makin luar biasa performancenya. Harapan konyolku, Ibra nggak akan mogok-mogok lagi. Awet sampai nanti, sampai mati. Lah kok kayak lirik lagu :D
Udah diganti nama pun tetap sama aja. Sepeda listrik yang aku kenakan tetap saja bikin lelah hati. Sering mogok nggak jelas, entah kabelnya yang kendor, entah baterainya yang bermasalah. Ada aja gitu yang bikin aku harus menuntunnya di tengah jalan, yang seringnya masih jauh dari kosan. Puncaknya adalah ketika Ibra mati total, dengan rem yang nggak "makan", ban bocor, plusss spion melambai. Uh menyedihkan sekali! Berasa hidup segan, mati tak mau.
Akhirnya demi kelancaran mobilitas, terutama saat pelayanan pagi-pagi di gereja, aku menyerah pada sepeda motor manual. Patah hati sungguh. Menyenggol idealisme aku. Tapi mau gimana lagi? Indonesia dan iklimnya belum siap untuk menghadirkan sepeda listrik. Dengan berat hati aku menyakiti bumi lagi dengan memilih bersama Kaka, si motor baru yang mengantarkanku untuk lebih dekat dengan Tuhan. Ya semoga saja aku tidak kelewat kebangetan menyakiti bumi, kalau pergi ke tempat yang dekat-dekat lebih milih jalan kaki, atau nebeng teman sekaligus modus cari jodoh, ups!