Jalan-Jalan tapi Konferensi, Konferensi tapi Jalan-Jalan

Beberapa teman instagram pernah komen postingan aku saat di Shanghai, "Ih enak jalan-jalan terus." Padahal oh padahal jalan-jalan itu bagian dari konferensi. Beneran, wkwkwk. Aku datang ke Shanghai itu untuk konferensi mahasiswa internasional dibidang lingkungan, yang diadakan UNEP dan Tongji University.
Ngedebund dengan muka yang sesungguhnya letih/ dok. kalau nggak Zulvan ya Bli Made. 
Jalan-jalannya terjadwalkan resmi kok. Semacam field trip gituhh.. Kalau versi nggak resminya, sightseeing manja, dilakuin disela acara. Apalagi kalau malam ada banyak waktu lowong yang bisa dimanfaatin. Pokoknya nggak mau rugilah. Harus sebanyak-banyaknya mengoleksi memori cantik diberbagai tempat yang cantik pula.

Yuyuan Old Street
Sesuai jadwal, hari pertama acaranya belum dimulai. Baru registrasi saja. Ada banyak waktu yang sayang dianggurkan setelah menjejakkan kaki di bumi Shanghai, yang masih pagi kala itu. Melesatlah aku dan Vicky, kawan delegasi Indonesia yang sepesawat dan ujung-ujungnya jadi roommate, ke Yuyuan Old Street.
Mengabadikan kekatrokanku akan maglev/ dok. pribadi.
Yuyuan Old Street sendiri letaknya nggak dekat dengan bandara, sekitar 40 km jarak keduanya. Kita memilih naik maglev terlebih dulu, untuk menghempas rasa penasaranku, hho. Baru setelah itu transfer ke metro. Mumpung lagi di Shanghai mennn...skalian dong ngicipin kereta publik yang tercepat di dunia. Kecepatan maksimalnya mencapai 431 km/jam, gais!!

Rasanya gimana? Biasa aja, sungguh! Hahaha. Kalau uda naik dan duduk, nggak ada bedanya dengan naik kereta biasa. Baru terasa perbedaannya ketika menatap ke luar. Tampak mobil berjalan begitu lambat. Maglev menyelip dengan sangat cepat semua benda yang ada di sekitarnya. Dan cesss.... tau-tau sampai di tujuan. Cepat sekali! Tiga puluh kilometer dibabat hanya dalam waktu tak sampai lima belas menit. Beda jauh tentunya dengan metro yang kunaiki setelahnya.
Geret-geret koper di Yuyuan Old Street/ dok. pribadi
Setelah berjibaku dengan puluhan manusia di dalam metro selama seperempat jam, akhirnya sampai juga di stasiun Yuyuan Garden. Nggak pakai lama, turun metro langsung cus keluar stasiun dan menyusuri ruas demi ruas jalan yang jelas asing bagi kita. Geret-geret koper dong kita di sepanjang jalan kenangan... Untung nggak jauh dan nggak sambil bergandeng tangan. Aman, nggak bikin baper, wkwkwk.

Nah seluruh ruas jalan diberi nama beken Yuyuan Old Street. Menurutku, kawasan ini yang paling nendang kerasa "China"nya. Bangunannya tradisional oriental gitu. Namanya juga old street, pastilah menampilkan wajah China dimasa lampau. Lebih ciamik dibandingkan menatap gedung-gedung modern yang sudah biasa ditemui. Bahkan turis Indonesia yang nggak sengaja berpapasan di sana bilang, "Ini baru China." Jadi kalau mau update instagram yang kelihatan lagi di China beneran, Yuyuan tempatnya!
Berkunjung ke BMW Experience Center/ dok. Dewan
BMW Experience Center
Kalau ke sini hitungannya jalan-jalan resmi. Walau ujung-ujungnya pada mencar buat foto sendiri-sendiri (ternyata habit kayak gitu nggak cuma dimiliki orang Indonesia, hoho). Dilihat dari namanya, sudah bisa menerka lah ya itu tempat apa.. Ya tempat pameran, ya museum mini, ya tempat menjajal (pakai bayar) mesin kudanya BMW.

Aku sendiri nggak terlalu antusias dengan kunjungan itu. Teman aku nan baik hati dari Malaysia, Mei, bahkan sampai bertanya, "Do you want me to take your photo here?" Dan aku dengan songongnya bilang, "Oh no thank you, I have had one in Indonesia." Abis itu banyak yang melongok ke aku. Ada yang dengan polosnya bertanya, "Really?". Tanpa rasa berdosa dong aku jawab, "Really... in my dream." Semua tertawa.
Mobil ini lebih menarik perhatianku. Ada gitu lo mobil BMW yang diproduksi mahal-mahal cuma buat dicoret seperti itu./
dok. Vicki  
Nah yang aku inget banget dari tempat ini tuh justru perkataan Yaran, delegasi China yang juga seatmate sewaktu di bis. Kata cewek manis oriental itu, mobil-mobil dengan teknologi mutakhir ramah lingkungan punya kode tersendiri di plat nomernya. Kode itu yang digunakan untuk memudahkan masyarakat mengidentifikasi kendaraan ramah lingkungan dari luarnya.
Hayo kamu pilih yang mana? Jangan pilih cicinya lo ya.. hhe/ dok. Yaran
China Art Museum
Kelar memusingkan mata di BMW Experience Center, langsung deh hijrah kita ke China Art Museum. Kebetulan museum itu ada di seberangnya persis. Bangunan yang bentuk bangunannya entah kenapa mengingatkanku pada torii gate, ada di jajaran tempat must visit ku selama di Shanghai. Awalnya pingin ke sana sendiri aja, karena tempat ini nggak tercantum di rangkaian acara konferensi. Shanghai Museum yang jelas terpampang di jadwal. Eh tapi kok jadinya malah ke situ. Ya beneran...jadi bisa hemat energi dan waktu.
China Art Museum punya bentuk bangunan yang unik. Mengingatkanku pada torri gate di Jepang/ dok. Dewan
Untuk mencapai lantai ekshibisi yang ada di lantai paling atas, kita harus menaiki tangga berjalan yang miringnya nggak santai dan tinggi banget. Kalau lihat ke bawah rasanya ulala syerammm. Aku nggak phobia ketingggian sih, tapi merinding juga pas nengok ke bawah. Sampai tangan keringetan. Rasanya ingin cepat sampai atas. Dan ketika sampai di atas...taraaaa..zonk, mungkin karena aku nggak paham karya seni yang abstrak gitu kali ya. Cuma sebentar lihat-lihat sudah nggak betah dan langsung turun pulang.

The Bund
Kata kebanyakan orang, belum ke Shanghai kalau belum ke The Bund. Area tepi sungai itu jadi landmark hits yang menyedot perhatian para turis, lebih-lebih kaum milenial yang instagram banget. Aku malah sama sekali nggak tertarik dengan The Bund, apalagi saat malam. Seperti yang ada di lirik lagu Nuansa Bening-nya Vidi Aldiano, biasa saja yehyehhh... Soalnya sudah pernah lihat riversidenya Singapura dan Bangkok, jadi ngerasa nothing special dari The Bund.
The Bund disiang hari/ dok. Dewan
Sebenarnya The Bund lebih enak dilihat waktu siang. Aku udah lihat sih. Iya lihat doang dari dalam bis, tapi nggak (dikasih kesempatan) turun. Miris! Untung ada fotonya, hha.
Menatap nanar dari dalam bus (duh bahasa gueh.., hha)/ dok. Dewan
Dan kita (aku, teman-teman delegasi Indonesia dan Adonis dari Filipina) akhirnya punya kesempatan meninggalkan jejak di The Bund malam hari, sepulang dari Chongming Island. Kalau malam hari....Lampunya, pemandangannya, suasananya... Seperti yang aku bilang sebelumnya, biasa saja! Bahkan aku bete ketika menyusuri Nanjing Road, semacam Malioboro-nya Shanghai, ruas untuk menuju The Bund. Banyak masyarakat disabilitas yang "meminta-minta". Bikin mood melesat turun. Sukses berat menyenggol sisi kemanusiaanku, bukan iba tapi kesal. Gak lagi-lagi ke sana deh.

Chongming Island
Bagian ini adalah wisata yang terjauh dari Shanghai. Chongming itu masih termasuk wilayah Shanghai, tapi beda pulau. Butuh waktu sekitar dua jam-an dari pusat kota Shanghai untuk menuju ke sana. Harus melewati jembatan yang panjaaaaanggg gitu, yang pemandangannya suer bikin ngantuk. Sesudah nyebrang ke Chongming Island, kita disuguhi pemandangan yang Indonesia banget di kiri kanan jalan. Pohon dan padang rerumputan berlomba memanjakan mata.
Mengunjungi KP4nya Tongji University, hhe/ dok. pribadi
Kalau Shanghai mainland hits dengan pencakar langitnya yang artsy, Chongming Island lebih banyak dikenal dengan wisata alamnya yang menyejukkan. Dari sekian banyak ekowisata di Chongming, kita hanya berkesempatan mendatangi Xisha Wetland Park. Sebelum ke sana, kita mampir sebentar di National Agricultural Facility Center, suatu pusat penelitian pertanian yang dimiliki Tongji University. Bentuknya ya seperti greenhouse pada umumnya, mirip KP4nya UGM, hohoho. Untuk teknologinya, mereka bekerja sama dengan Belanda.

Buat mahasiswa pertanian, menjenguk tempat itu rasanya seperti surga. Bisa banyak gali pengetahuan. Semua tanaman yang ada di sana dibudidayakan murni untuk penelitian. Sama sekali nggak dijual ke pasar, soalnya biaya produksinya sangat tinggi. Kalau dijual bisa merusak harga gitu. Jadi, semua hasil panen yang kece-kece itu diperuntukkan bagi pegawai di sana. Mereka bebas mempergunakannya sebagai konsumsi pribadi atau mau dijual, yang jelas ngejualnya bukan atas nama kampus lagi.
Jajaran cemara yang cantik manja/ dok.pribadi
Setelah (terpaksa) puas menggali informasi dari National Agricultural Facility Center, baru deh kita ke Xisha Wetland Park. Semua serba hijau. Hamparan rumputnya nggak terlalu menarik buat partisipan dari Indonesia. Lah...penampakannya Indonesia banget coi... Tapi jejeran cemaranya ngademin dan instagramable, kok! Di sana juga ada mini labirin gitu. Sempat cobain, cuma beberapa meter doang sih. Terus balik lagi, hehehe. Malas muter-muter geje. Ngehabisin waktu doang, padahal jatahnya singkat banget.
Mencoba menyusuri labirin tapi akhirnya menyerah juga/ dok. Dewan
Di dalam Xisha Wetland Park ini juga ada danaunya. Ya...kalau mau bagus-bagusan sih, jelasss masih bagusan pemandangan di Lembang, Bandung. Meski begitu, Xisha Wetland Park menjadi kebanggaan warga China lo... Kata seorang delegasi China, satu-satunya daratan yang tergenangi langsung luapan sungai Yangtze itu menjadi wetland percontohan pertama skala nasional!

Century Park
Sebenernya paling males buat ceritain bagian inihh...Tamannya kece banget sampai-sampai bikin aku meninggalkan dengan sesak hati sebuah burung besi bermigrasi ke Macau (aku lo ya yang ninggalin, nggak diterima dibilang ketinggalan pesawat, ekekeke). Soal itu akan kuceritakan terpisah nanti.
Century Park yang bikin kilaf sampai ninggalin si burung besi, wkwkwk/ dok. pribadi
Taman kota yang identik dengan jarum raksasa disalah satu gatenya itu adalah taman yang terluas di Shanghai. Rasanya damai, tenang dan tentram kalau datang pas sorean gitu. Yang solo traveler ditambah jomblo, hati-hati! Bisa baper nggak kepalang ngelihat pasangan kanak-kanak sampai kakek-nenek bersenda gurau lepas tanpa beban. Iya kanak-kanak loo... balita imut menggemaskan saja berpasangan (dengan saudaranya gituuu, jangan suudzon dulu), masak kamu sendirian? wkwkwk.

Gimana...ngiler ke Shanghai nggak? Kalau kamu mahasiswa, bisa loh kayak aku, ya jalan-jalan ya konferensi. Dannn GRATIS lagi!! Baca di sini deh...

 
back to top