Senyesek Itu Sakit Saat Traveling

Obat batuk yang kudapat dari klinik di Taiwan
Sebenarnya bukan pertama kali aku sakit saat traveling. Beberapa kali aku pernah merasakan kurang enak badan, seperti demam ringan dihari terakhir camp di Thailand atau pusing-pusing di berbagai negara. Untungnya sakit yang seperti itu cepat teratasi. Minum air hangat, pakai minyak angin terus bobok. Manjur! Parasetamol cuma jadi serep, yang jarang juga kuminum.

Baru akhirnya saat traveling kemarin ke Taiwan aku mengalami sakit terburuk. Pertama kalinya banget dan semoga untuk yang terakhir. Sakit itu bermula dari sedikit nyeri di dada yang muncul saat perjalanan menuruni Puncak Shengmu, beberapa kilometer menuju guest house.

Heran sih aku… karena nggak pernah sama sekali. Berjalan jauh tak pernah membuat dadaku sakit. Sampai di guest house, aku langsung istirahat. Baikan deh. Hari berikutnya aku melakukan perjalanan yang ketat, berpindah ke tiga kota lain dalam sehari, Taipei, Miaoli dan Tainan. Dan ya… aku masih merasa baik-baik saja.

Hari ke empat menjadi yang terburuk. Sakit kepala dan nyeri dada meningkat. Mata sakit banget kalau digerakkan. Lalu diikuti demam tinggi. Kondisi bertambah buruk ketika aku tiba di Kaohsiung. Jadi sesak napas dan batuk terus menerus. Pusing makin menjadi. Tanpa banyak mikir, aku cari klinik terdekat dengan google map.

Untungnya, dokter dapat berbicara bahasa Inggris. Namun dia tidak menjelaskan secara singkat sakit yang kuderita. Waktu itu bulan Agustus, corona belum ngehits. Kalau terjadinya sekarang, mungkin dokter bakal curiga aku kena covid. Abis gejalanya mirip.

Dokter itu hanya menuliskan resep obat infeksi saluran pernapasan. Dia jamin aku akan baikan dalam dua hari. Kagetnya, kelar periksa, obat yang aku tebus cuma satu setrip obat batuk bikinan Jepang. Nggak ada lainnya. Itupun isinya cuma enam kapsul, yang emang untuk dua hari. Tapi harganya beuhhhhh…lima puluh ribu kalau dirupiahin. Mahal bener! Lalu biaya sama periksanya berapa? Jangan tanya lagi! Mehong gilak. Uang cash NTD langsung habis.

Sakit itu membuat itinerary untuk hari ke lima dan ke enam tidak digunakan. Aku tidak bisa mengunjungi banyak tempat di Kaohsiung karena aku menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Yang paling menyakitkan adalah ketika aku mencari makan dalam kondisi demam tinggi.

Aku lihat di dekat guest house nggak ada warung makan. Mau nggak mau kalau lapar ya ke 7-11. Dari guest house ke 7-11 terdekat itu sekitar 500 meter. Bayangkan..kamar aku ada di lantai 3 dan tidak ada lift! Duh, kalau pas lagi nyeri bin lapar rasanya menderita banget naik turun tangga. Mana masih harus jalan lagi untuk dapat makanan. Uh… sakitnya terasa makin menjadi.  

Berat emang sakit di negeri orang. Apalagi solo traveling gini. Udah sakit, uang (cash) habis, nggak ada temen pula. Nyesek! Tapi aku bersyukur dipertemukan Tuhan dengan dokter Taiwan yang emang parah kerennya. Obatnya tokcer banget! Aku benar-benar baikan dalam waktu dua hari. Aku sampai Indonesia sudah pulih banget dong…  

Sakit kemarin memberiku banyak pelajaran. Asuransi perjalanan tidak boleh dilupakan. Kalau saja aku kemarin punya asuransi, pasti uang yang kugunakan buat periksa bisa direstitusi. Untuk traveling selanjutnya aku juga nggak bakal buat rencana perjalanan yang ketat, hanya demi egoku yang pingin bucket listku tercapai.

Kemarin itu parah sih emang, sepuluh hari sebelum ke Taiwan aku traveling ke Bali-Lombok seminggu. Eh di Taiwan mendaki, padahal sama sekali belum pernah mendaki. Habis itu langsung keliling berbagai kota dari utara sampai selatan Taiwan. Apa kabar dah tubuh? Kecapaian lah jelas. Dasar aku yang nekat bin bandel!

Pengalaman memang guru yang terbaik. Besok lagi aku harus lebih bisa memahami kondisiku sendiri. Jangan sampai terulang sakit di luar negeri, yang bikin susah sendiri.

Post a Comment

 
back to top